Hemodialisis dan Aktivitas Membina Pramuka
Oleh TATO TAOFIQURRAHMAN, S.H.
Saat menjadi Ketua Dewan Kerja Pramuka Penegak dan Pandega Kwartir Daerah Provinsi Jawa Barat, bersamaan dengan lengsernya Presiden Soeharto 1998, saya divonis dokter harus menjalani cuci darah atau hemodialisis.
VONIS tersebut tentu sangat memukul perasaan saya, keluarga, dan rekan-rekan. Pada saat yang sama, saya mengemban amanah sebagai pembina satuan di Gugus Depan KB 21007 Pangkalan SMPN 8 Bandung (SMPN 1 Ujungberung). Demi kelangsungan pembinaan kepramukaan, kegiatan latihan sementara dialihkan kepada rekan lain.
Meskipun menjalani cuci darah, bagi saya membina anak-anak muda dalam kepramukaan selalu menjadi motivasi untuk kesembuhan. Selalu terbayang bagaimana anak-anak Pandu dengan segala aktivitasnya begitu menggembirakan. Akan tetapi, kadang semua menjadi sirna ketika harus terbaring lemah di ruang cuci darah.
Bagaikan penyemangat di sela-sela sakit, adik-adik Pandu selalu setia berkunjung memberikan cerita-cerita menarik selama menjalani kegiatan kepramukaan. Semangat mereka menjadi obat bagi saya selaku pembina.
Menjelang tahun kedua cuci darah, saya mengalami kejadian luar biasa. Tepatnya sesudah Iduladha, saya mengalami stroke. Pembuluh darah otak pecah, saya masuk RSHS dan menjalani operasi di bagian kepala. Saya tidak sadarkan diri lebih dari 10 hari, mata tak bisa lagi melihat, memori pun hilang. Saya tak hafal lagi bacaan salat, demikian pula nama-nama yang ada di sekitar.
Terbaring tak sadarkan diri. Cuci darah pun saya tak bisa sehingga keadaan tubuh bengkak karena cairan yang menumpuk. Akibatnya, saya menjalani cuci darah lewat perut. Padahal, saat itu sedang berlangsung kegiatan kepramukaan berupa pengumpulan produk-produk P&G yang harus dikumpulkan di Kwartir Cabang Kota Bandung dan Program Bakti Pramuka Peduli.
Sebulan lebih di RSHS tak ada perbaikan. Keluarga pun pasrah menerima yang terbaik yang diberikan Sang Pencipta. Semua telah dipersiapkan seakan-akan saya tak akan bisa hidup lagi. Alhamdulillah berkat semua doa yang tulus dari banyak orang, saya mendapatkan kebesaran-Nya. Saya mulai sadarkan diri sedikit demi sedikit walau saya tak bisa melihat. Tepat saat saya berulang tahun ke-27, keajaiban itu datang, saya sadar. Kondisi fisik saya sangat memprihatinkan, tubuh kurus tinggal tulang, rambut rontoh, mata tak bisa melihat, dan memori terbatas.
Perlahan saya bangkit menjalani cuci darah dengan rutin. Seiring dengan doa, kesabaran, dukungan orang-orang tercinta, dan minum obat yang dianjurkan, mata saya mulai melihat walau hanya dalam jarak yang dekat. Memori juga mulai membaik. Saya pun melakukan aktivitas kembali. Satu yang selalu membuat semangat hidup adalah anak-anak Pandu dengan segala aktivitasnya.
Sebuah anugerah terindah dalam hidup adalah ketika saya menikah. Rasanya sangat tidak mungkin bagi seorang penderita gagal ginjal bisa membina biduk rumah tangga dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Namun, Allah SWT Maha Mengetahui apa yang akan terjadi pada umat-Nya. Walau sampai saat ini saya belum dikaruniai keturunan, namun mendidik, membimbing, dan membina bukan hanya harus kepada anak kandung, tetapi semua anak di dunia ini perlu dididik.
Tulisan ini saya curahkan sebagai wujud kasih sayang saya kepada anak-anak muda, para Pandu, sebagaimana saya curahkan kepada anak saya sendiri. Selama beberapa tahun, keadaan kesehatan saya membaik. Saya menjalani aktivitas sebagai seorang pembina Pramuka, membina anak-anak muda untuk menjadi manusia yang berguna dan berdaya guna yang mempunyai keahlian dalam hidupnya (life skill).***
Penulis, mantan Ketua DKD Jawa Barat, Andalan Cabang Kota Bandung, Waka Kwarran Ujungberung.
Penulis:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar