Daya Saing Produk Lokal Melemah
TDL Naik, PHK Akan Meningkat
JAKARTA, (PR).-
Rencana pemerintah mengurangi subsidi untuk PT PLN, melalui program penghematan oleh konsumen, dinilai tidak tepat. Apabila rencana itu dilaksanakan, beban yang akan ditanggung masyarakat, khususnya dunia usaha, semakin berat. Jika daya saing produk Indonesia melemah dan daya beli masyarakat semakin turun, tidak menutup kemungkinan akan terjadi penutupan sejumlah industri yang pada akhirnya menimbulkan PHK dan menambah jumlah penduduk miskin.
"Penghapusan subsidi itu akan berdampak pada naiknya TDL. Kalau tarif listrik naik, jelas hal itu akan semakin menambah biaya produksi yang pada ujungnya dibebankan kepada masyarakat konsumen. Waktunya tidak tepat, karena tanpa keputusan seperti itu pun beban rakyat sekarang ini sudah sangat berat," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia, M.S. Hidayat menjawab pertanyaan "PR" di Jakarta, Selasa (19/2) malam.
Hidayat diminta tanggapannya sehubungan dengan rencana pemerintah mencabut subsidi PLN sebesar Rp 10 triliun. Rencana pencabutan subsidi itu, akan berdampak pada kemungkinan naiknya tarif dasar listrik (TDL) listrik 10 sampai 15 persen.
Menurut Hidayat, segala aspek yang menyangkut kepentingan rakyat banyak harus benar-benar dikaji, sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk.
Ia memperkirakan, tanpa ada kebijakan yang membebani rakyat pun sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tidak akan lebih dari 6,2 persen. Pertumbuhan ini pun bisa tidak tercapai, jika pemerintah pada akhirnya memutuskan mencabut subsidi PLN yang kemudian diikuti dengan kenaikan tarif listrik serta kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), atau menaikkan harga BBM.
"Kadin memprediksi indikator-indikator ekonomi makro tahun ini akan terus melemah, jika pemerintah membuat kebijakan seperti itu. Kalau ada kebijakan yang membebani rakyat dan dunia usaha, laju inflasi tahun ini akan bisa mencapai 7 persen lebih. Sektor riil tidak akan tumbuh. Mencapai pertumbuhan industri dan sektor riil sama dengan tahun 2007 saja sangat sulit dicapai tahun ini," jelasnya.
Sebelumnya, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), J. Purwono menjelaskan, mulai Maret 2008, pemerintah akan memberlakukan pembatasan pemakaian listrik. Kebijakan itu berlaku untuk seluruh konsumen listrik, baik kelompok rumah tangga, sosial, maupun bisnis kecil. Konsumen listrik itu semuanya akan dikenai tarif disinsentif jika pemakaiannya di atas patokan.
Target program disinsentif dan insentif rekening listrik adalah penghematan pemakaian listrik nasional sebesar 20 persen dibandingkan pemakaian tahun 2007.
Tarif disinsentif itu perlu diberlakukan karena subsidi listrik yang tidak bisa dicukupi. Tahun ini, PT PLN mengajukan subsidi sebesar Rp 65 triliun.
Padahal, dalam pengajuan APBN Perubahan 2008, alokasi subsidi listrik Rp 55 triliun. Sedangkan Rp 10 triliun lainnya, diharapkan bisa diperoleh dari program penghematan oleh konsumen.
Namun, program penghematan ini dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk kenaikan tarif listrik secara terselubung.
Kompensasi
Hal senada dikemukakan Ketua Kadin Jabar, Iwan Dermawan Hanafi. Menurut dia, jika TDL dinaikkan Maret 2008, waktunya tidak tepat. Karena hal itu akan mengurangi daya saing produk nasional.
"Padahal saat ini, untuk bisa bersaing di dalam negeri dengan berbagai produk impor, saya tahu betul, para produsen nasional harus bekerja ekstra keras. Apalagi, jika ada tambahan beban berat dari kenaikan TDL," katanya.
Menurut Iwan, saat ini perekonomian nasional sebetulnya sedang dalam masa transisi, karena berbagai perubahan dalam perekonomian dunia mengharuskan ekonomi Indonesia melakukan penyesuaian besar-besaran. Artinya beban yang harus dipikul dunia usaha akan menjadi terlalu berat.
"Kalaupun harus naik, sebaiknya ada insentif lain sebagai kompensasi yang bisa meringankan dunia usaha. Tapi, ini pun saya tak yakin bisa mendapatkan skema yang menarik. Karena insentif dari sisi pajak yang sebenarnya paling pas, rasanya tidak mungkin dilakukan pemerintah saat ini," katanya.
UKM terpengaruh
Kenaikan TDL juga dikhawatirkan berpengaruh pada biaya produksi para peternak ayam dan produsen tahu. Gunta, pemilik peternakan Arya Farm di Cipatik, Kab. Bandung, mengatakan, biaya operasional meningkat setelah biaya listrik naik.
"Listrik termasuk ke dalam biaya operasional tetap, sehingga jika dirunut, akan berpengaruh pada biaya produksi ayam," tuturnya, Selasa (19/2).
Menurut Gunta, biaya operasional yang meliputi biaya minyak tanah sebagai bahan bakar pemanas DOC, sekam (dedak) untuk alas ayam, dan penggajian seratus karyawan yang tersebar di Purwakarta serta Bandung, akan berdampak pada harga ayam. Pasalnya, biaya produksi ayam yang terdiri atas biaya operasional, pakan, dan DOC yang meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik, akan menyebabkan kenaikan harga ayam di pasaran.
Sementara itu, H. Nana (54), perajin tahu di Cibuntu Kota Bandung, menilai kenaikan TDL akan semakin mengurangi omzetnya. Sebab, dilihat dari harga kedelai yang masih Rp 7.000,00/kg, biaya produksinya semakin tinggi. Nana mengaku tidak dapat meningkatkan lagi harga tahu yang saat ini sudah mencapai Rp 400,00/buah.
"Terus terang, saya sudah mengalami banyak kerugian. Produksi saya sudah turun dari 1,5 ton kedelai/hari jadi cuma 6 kuintal. Sekarang, ditambah lagi dengan harga listrik yang akan naik," ujarnya. Mengenai dampak kenaikan TDL terhadap omzet, menurut Nana, bisa menurunkan omzet hingga 100 persen.
Sementara itu, Erny Purihandayani menilai, rencana kenaikan TDL dipastikan akan mematikan usahanya. Karena dengan tarif listrik saat ini pun, CV Puri’s miliknya yang memproduksi aneka busana muslim, sudah kerepotan mengatur biaya.
"Sewaktu kenaikan BBM tahun 2005 yang diikuti kenaikan TDL, kami hampir-hampir tutup, karena tak sanggup menanggung biaya produksi. Setelah membuat beberapa terobosan, kami bisa bertahan. Tapi kalau nanti listrik naik lagi, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan," katanya.
Hotel
Kenaikan tarif listrik 10-15% juga akan berdampak pada kenaikan biaya pengeluaran listrik hotel 2-5%. Hal ini diungkapkan Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jabar, Herman Muchtar, ketika dihubungi "PR", di Bandung.
Herman mengatakan, tanpa rencana kenaikan TDL pun, hotel dan restoran sudah dihadapkan pada situasi sulit. "Dengan kenaikan bahan baku, kondisi hotel dan restoran sudah cukup sulit. Apalagi, ditambah dengan kenaikan tarif dasar listrik," ucapnya .
Akibat situasi tersebut, hotel harus menaikkan tarifnya hingga 10%. Tetapi, Herman mengungkapkan hal tersebut tidak dapat dilakukan pengelola hotel, karena secara okupansi, tingkat hunian hotel cenderung stagnan dengan rata-rata 49%.
"Sementara jumlah hotel dan restoran saat ini semakin meningkat, sehingga persaingan semakin ketat," tutur Herman. Menurut dia, hal ini akan semakin menurunkan tingkat okupansi hotel.
Kalaupun memang harus ada kenaikan, Herman mengatakan hal tersebut perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas pariwisata.
Menurut dia, perlu kerja sama antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan indutri terkait untuk mempromosikan daerah wisatanya, seperti peningkatan keamanan, kebersihan. (A-75/A-135/CA-169/CA-172)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar